Minggu, 13 Juli 2014

Pengelolaan Lansekap Wilayah Pesisir Studi Kasus: Pengelolaan Hutan Mangrove di Kawasan Prapat Benoa

Diposting oleh Unknown

Oleh:
Dewa Ayu Bulan Indrayuni

Abstrak
Hutan mangrove memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia yang ada di daratan. Hutan mangrove yang merupakan ekoton antara daratan dan laut menjadi buffer dari terjangan air laut yang dapat mengancam keselamatan manusia. Kurangnya pengelolaan yang baik dan pengawasan pada pemanfaatan mangrove oleh masyarakat sekitar maupun instansi terkait, menyebabkan hutan mangrove mengalami kerusakan dan terancam punah.



Kawasan pesisir merupakan daerah perbatasan antara daratan dan perairan dimana aktivitas di daratan dan lautan masih saling mempengaruhi. Pada kawasan pesisir, aktivitas pada ekosistem daratan dan ekosistem perairan masih saling berinteraksi.

Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan. Wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir ke arah daratan, baik yang kering maupun terendam air masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin (Dahuri et al. 1996).
Defenisi di atas  memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, baik di darat maupun di laut dan antara habitat tersebut saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling rentan terhadap dampak negatif aktivitas manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung atau tidak langsung berdampak terhadap ekosistem pesisir (Primavera 2006).

Dilihat dari potensi ekonominya, kawasan pesisir memiliki posisi strategis dalam pembangunan alokasi perekonomian maupun pendistribusian sumberdaya ekonomi suatu wilayah. Dilihat dari potensi ekonominya, kawasan pesisir dibagi menjadi tiga unsur yakni: berdasarkan kesesuaian dan kekayaan sumberdaya yang dimiliki yang berguna bagi aktivitas ekonomi, misalnya untuk kegiatan tambak, pengembangan pelabuhan, dan lain sebagainya. Lalu berdasarkan fungsi kawasan pesisir sebagai lokasi rehabilitasi atau konservasi ekosistem perairan maupun ekosistem darat yang ada disekitarnya. Dan yang terakhir, berdasarkan pemanfaatan kawasan pesisir bagi aktivitas social masyarakat sekitar. Berbagai kegiatan bernilai-nilai yang memiliki fungsi social dapat dilakukan pada kawasan pesisir.
Begitu juga halnya dengan pesisir di Bali. Di Bali, pesisir memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena sebagian besar pesisir di Bali menjadi sebuah tujuan wisata bagi para wisatawan baik local maupun mancanegara. Selain sebagai objek wisata, pesisir di Bali juga banyak dimanfaatkan sebagai tempat melaksanakan ritual keagamaan seperti melasti, melukat, dan lain sebagainya.

Selain dua hal diatas, wilayah pesisir di Bali juga dimanfaatkan sebagai daerah konservasi dengan ditanami tanaman bakau (mangrove). Mangrove yang ditanam pada wilayah pesisir Bali, dapat menjadi pemecah ombak sehingga abrasi dapat diminimalisir, sebagai benteng dari terjangan ombak yang kuat, sebagai penetral pH air laut sehingga air laut menjadi tawar, dan juga dapat sebagai penangkaran (sanctuary) bagi binatang yang hidup pada ekosistem bakau.

Mangrove merupakan salah satu jenis hutan konservasi yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan di pesisir maupun di daratan. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang langka di muka bumi ini. luas ekosistem mangrove di muka bumi hanya sekitar 2 % dari luas permukaan Bumi. Ekosistem mangrove yang ada di wilayah Indonesia merupakan ekosistem mangrove terluas. Pada Peraturan Daerah Kabupaten Badung disebutkan bahwa, kawasan hutan bakau (mangrove) merupakan kawasan TAHURA (Taman Hutan Rakyat) dimana pada kawasan ini tidak dapat dihilangkan. Hutan mangrove yang terdapat pada kawasan pesisir Kabupaten Badung adalah kawasan pesisir pada wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Sebagaimana dikatakan dalam pasal 9-BAB V-Keputusan Bupati Badung No. 639 tahun 2003 yang berbunyi “Kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura), kawasan tahura yang ada sekarang tetap dipertahankan fungsi sebagai hutan bakau dan dibuatkan jalan inspeksi sebagai batas fisik antara tahura dan fungsi peruntukan lainnya”.
Kawasan Tahura Ngurah Rai Bali atau kawasan hutan mangrove yang biasa disebut oleh BLH (badan Lingkungan Hidup) sebagai Prapat Benoa merupakan wilayah ekosistem mangrove terluas di Bali. Menurut data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Unda Anyar, luas total hutan mangrove yang masuk ke dalam kawasan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar ini memiliki total luas 1.373,5 hektar, dimana luasnya lebih dari separuh luas seluruh kawasan ekosistem mangrove di pesisir Bali yaitu 2.215,5 hektar. Kawasan ekosistem bakau terluas di Bali ini merupakan kawasan konservasi. Ekosistem bakau di kawasan Prapat Benoa ini, melewati enam desa di Denpasar yaitu Sanur Kauh, Sidakarya, Sesetan, Serangan, Pedungan dan Pemogan. Dan yang melewati wilayah desa di Kabupaten Badung yakni Kuta, Kedonganan, Tuban, Jimbaran dan Tanjung Benoa. Ekosistem bakau Prapat Benoa ini membentuk Teluk Benoa yang merupakan ekoistem mangrove terluas di Bali.
Ekosistem mangrove yang berada di pesisir Kabupaten Badung dan Kota Denpasar ini memiliki peran ekologi, sosial-budaya, ekonomi, dan konservasi. karena peran hutan mangrove yang begitu banyak, maka tidak sedikit masyarakat melakukan aktivitas pada kawasan tersebut. Baik itu kegiatan perekonomian, seperti menjadikan hutan mangrove sebagai sumber mata pencaharian, ataupun kegiatan social-budaya seperti  melakukan upacara keagamaan.
Karena begitu tingginya aktivitas manusia pada kawasan mangrove, tidak dipungkiri dapat mengakibatkan kerusakan pada ekosistem mangrove. Baik itu kerusakan berat maupun kerusakan ringan. Begitu banyak aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan pada ekosistem mangrove. Seperti misalnya reklamasi kawasan hutan mangrove untuk kepentingan manusia, penebangan mangrove untuk diambil kayunya, melakukan pembuangan rumah tangga ke kawasan mangrove, dan pembukaan hutan untuk dijadikan tambak.

Alih fungsi lahan hutan mangrove sebagai tambak merupakan faktor utama penyebab terdegradasinya hutan mengrove di dunia umumnya dan di Bali khususnya.
Begitu juga pada kawasan hutan mangrove Prapat Benoa ini, aktivitas tambak yang dikelola secara intensif hingga jauh ke daratan sehingga terbentuk sedimentasi dan menyebabkan areal tambak menjadi meluas karena wilayah berlumpur menjadi meluas, sehingga areal untuk kawasan hutan mangrove menjadi berkurang. Aktivitas pertambakan yang dilakukan masyarakat sekitar secara nyata mempengaruhi keberadaan ekosistem mangrove di sekitarnya. Saat ini, tidak ada lagi ekosistem mangrove alami. Ekosistem mangrove yang kini ada merupakan ekosistem mangrove yang sengaja diupayakan oleh pemerintah, masyarakat maupun instansi-instansi lain.
Reklamasi pantai untuk kepentingan industri, permukiman, pariwisata, maupun pembangunan aksesibilitas telah banyak dilakukan pada kawasan hutan bakau Prapat Benoa ini. Aktivitas pelabuhan bagi nelayan yang cukup tinggi seperti kedatangan perahu nelayan menyebabkan riak air laut yang dapat mengganggu pemantapan bibit mangrove dan menggerus lumpur yang ada. Kegiatan ini tentu akan menimbulkan pencemaran pada ekosistem mangrove. Sedimentasi yang terjadi akibat lumpur yang menumpuk ini sebenarnya dapat meningkatkan luasan areal ekosistem mangrove. Namun, jika penumpukan lumpur atau sedimentasi ini terjadi dalam skala yang besar dan luas, maka hal ini akan merusak ekosistem mangrove karena tertimbunnya akar napas tanaman mangrove oleh lumpur. Selain itu, sedimentasi yang terjadi secara besar-besaran akan mengakibatkan lahan rawa menjadi daratan. Sedimentasi yang terjadi dalam skala yang luas dapat mendorong semakin banyaknya aktivitas pertambakan pada kawasan ini, karena pola masyarakat yang terus membuka lahan tambaknya ke arah laut  dan pertumbuhan mangrove. Perluasan daratan ini pada dasarnya tidak akan memperluas ekosistem mangrove yang ada, kecuali adanya pengawasan yang ketat oleh masyarakat sekitar maupun instansi pemerintah ataupun pengelola kawasan ini. Perluasan aktivitas tambak ke arah laut dapat menyebabkan tambak-tambak lama terletak jauh dari bibir pantai sehingga menyebabkan perubahan siklus pergerakan air sehingga air tidak dapat menggenangi kawasan tersebut dan tanaman mangrove menjadi mati. Disinilah perlunya manajemen pertambakan yang baik agar tidak merusak ekositem mangrove yang telah digunakan dalam aktivitas pertambakan.
Pencemaran yang terjadi pada kawasan daratan maupun perairan di wilayah hutan bakau Prapat Benoa ini dapat merusak kawasan mangrove.
Karena kawasan ini merupakan ekoton atau batas antara laut dan daratan. Pembuangan limbah rumah tangga maupun industri begitu besar terjadi di sini, mengingat pada kawasan sekitar ini baik wilayah Sanur maupun Kuta Selatan merupakan kawasan pariwisata dimana aktivitas perhotelan maupun sarana penunjang pariwisata lainnya sangat tinggi. Limbah cair seperti minyak maupun limbah rumah tangga dan sampah dapat menutupi akar mangrove sehingga tanaman tidak dapat melakukan respirasi dengan baik dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada tanaman mangrove.

Penebangan hutan mangrove untuk pembukaan areal tambak maupun untuk diambil kayunya memberikan andil bagi kerusakan ekosistem mangrove.

Penebangan tanaman mangrove untuk pembukaan lahan untuk dibangun baik itu pembangunan dalam rangka peningkatan aksesibilitas (pembangunan jalan), tempat pembuangan akhir, pembangunan pelabuhan dan pengolahan limbah cair dapat menggerus luasan kawasan hutan mangrove ini. Penebangan hutan yang tidak lestari menyebabkan kerusakan berat pada ekosistem mangrove.
Sebagai kawasan hutan mangrove terluas di Bali, kerusakan yang terjadi di kawasan hutan mangrove Prapat Benoa ini juga paling luas dibandingkan kerusakan hutan mangrove pada daerah lainnya di Bali. Menurut data BP DAS Unda Anyar, luas hutan Mangrove yang mengalami kerusakan berat di kawasan hutan mangrove Prapat Benoa mencapai 253 hektar, dibandingkan dengan kawasan hutan mangrove di Perancak dan Tuwed, Jembrana dimana kerusakan hutan mangrove mencapai sekitar 29,5 hektar dan pada kawasan hutan bakau di Sumberkima dan Pejarakan mencapai seluas 31 hektar.
Kerusakan yang terjadi pada kawasan hutan bakau di Prapat Benoa ini sebagian besar terjadi karena tingkat alih fungsi lahan yang tinggi. Dari luasan kawasan hutan mangrove 1.373,5 hektar, seluas 165,58 hektar diperuntukkan sebagai jalan, TPA (Tempat Pembuangan Akhir), Pengolahan limbah cair, pelabuhan, dan lain-lain. Dan kerusakan akibat penebangan hutan sebesar 8,11 hektar.
Menurut wilayah, kawasan hutan mangrove di Kabupaten Badung dalam kondisi rusak berat sekitar 22,83 persen dan di Kota Denpasar sekitar 13,13 persen. Lokasi-lokasi hutan mangrove di kawasan Prapat Benoa yang mengalami kerusakan berat yaitu Tanjung Benoa, Benoa, Serangan, dan Pedungan. Pada kawasan ini, kerusakan berat terjadi akibat aktivitas pariwisata yang tinggi, hiruk pikuk pelabuhan, dan pencemaran akibat tempat pembuangan akhir di sekitar hutan tersebut.


Kerusakan ekosistem mangrove pada kawasan Prapat Benoa sebagian besar akibat aktivitas pertambakan, alih fungsi lahan, penebangan hutan, dan pencemaran akibat limbah rumah tangga. Untuk melindungi hutan bakau dari ancaman kepunahan pada kawasan Prapat Benoa khususnya dan Bali umumnya, diperlukan pengelolaan dan pengawasan yang baik dari masyarakat sekitar, pemerintah, maupun instansi-instansi terkait. Demi lestarinya ekosistem mangrove yang akan melindungi makhluk hidup yang ada di dalamnya dari ancaman bencana alam.
Sumber data: balipublika.com


0 komentar: