Diposting oleh Unknown
Urban Farming; Pangan Mandiri di Tengah Kota
Oleh:
Dewa
Ayu Bulan Indrayuni
Penduduk
kota tidak selamanya dapat bergantung pada pedesaan dalam pemenuhan kebutuhan
pangannya. Semakin meluasnya wilayah perkotaan semakin mempersempit wilayah
pedesaan dan meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, belum lagi persoalan
kepemilikan lahan pertanian. Dimana petani rata-rata merupakan petani
penggarap. Petani Indonesia rata-rata hanya menggarap sawah seluas 0,3 hektar,
jauh dari ideal yaitu sekitar dua hektar (www.itb.ac.id).
Pasokan pangan oleh domestik yang belum mampu memenuhi permintaan pasar,
mengakibatkan Indonesia terus-menerus melakukan kegiatan impor dan tidak jarang
menimbulkan kelangkaan pangan.
Pada
umumnya, kegiatan pertanian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ataupun
meningkatkan pendapatan melalui produksi bahan pangan yang dapat dikonsumsi,
maupun sebagai tujuan rekreasi maupun relaksasi. Namun seiring dengan
terdegradasinya lahan di perkotaan akibat relokasi sumber daya lahan untuk mendukungi
populasi perkotaan yang kian meningkat, mendorong masyarakat untuk
mengembangkan pertanian alternatif di perkotaan dalam bentuk mulai dari
pertanian rumahan dalam skala kecil, hingga pertanian modern dengan teknologi
yang mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
permintaan masyarakat perkotaan akan pangan.
Menurut
FAO, urban farming merupakan sebuah
industri yang memproduksi, memproses, dan memasarkan produk dan bahan bakar
nabati, terutama dalam menanggapi permintaan harian konsumen di dalam
perkotaan, yang menerapkan metode produksi intensif, memanfaatkan dan mendaur
ulang sumber daya dan limbah perkotaan untuk menghasilkan beragam tanaman dan
hewan ternak.
Urban
farming adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan
yang melibatkan ketrampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan
makanan. Hal utama yang menyebabkan munculnya aktivitas ini adalah upaya
memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, menambah penghasilan masyarakat
sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan hobi (Enciety, 2011).
Seperti
yang dikatakan Petrus Natalivan, dalam risetnya yang berjudul 'Pengembangan Konsep
Food Oriented Development Sebagai
Alternatif Solusi Ketahanan Pangan' menyebutkan bahwa kecilnya indeks ketahanan
pangan dilihat dari indikasi berkurangnya lahan pertanian. Penduduk perkotaan
yang cenderung meningkat setiap tahunnya diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk
di perkotaan maupun urbanisasi yang
sulit dikendalikan.
Definisi
Urban Farming sendiri menurut Balkey M dalam www.berkebun-yuuk.blogspot.com
(2011) adalah Rantai industri yang memproduksi, memproses dan menjual makanan
dan energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen kota. Semua kegiatan dilakukan
dengan metoda using dan re-using sumber alam dan limbah perkotaan.
Selain
itu, urban farming ini pun melahirkan
berbagai gerakan lokal seperti "foodies",
"locavores", "organic growers" dan sebagainya
yang berfungsi sebagai sarana berbagi informasi dan fasilitas jual beli produk dari
urban farming, sehingga mendatangkan
penghasilan, mengurangi risiko pestisida dan bahan kimia berlebih dalam
konsumsi masyarakat, hingga meningkatkan ketahanan pangan. Karena urban farming dapat memperpendek jarak
antara produsen dan konsumen sehingga bahan pengawet dan proses tambahan tidak
dibutuhkan. Hal ini membuat konsumen mendapatkan jaminan bahan pangan yang
didapatkan begitu segar.
Penelitian
yang dilakukan oleh Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kota Surabaya (2010)
berjudul Evaluasi Pelaksanaan Urban
Farming dapat dibuat kesimpulan yaitu secara umum pelaksanaan
urban farming bermanfaat bagi masyarakat yang mencapai 71,4% masyarakat yang
merasakan manfaat urban farming. Tingkat keberhasilan juga ditandai dengan
keberhasilan panen yang mencapai 64,7% dengan pemanfaatan 38,3% dikonsumsi
sendiri, 2,3% dijual, serta kombinasi dijual dan dikonsumsi sendiri mencapai
38,3% dengan rata-rata waktu perawatan 3-4 bulan. Meski urban farming tidak
ditujukan untuk produksi masal namun dari program tersebut telah
menghasilkan/memberi tambahan pendapatan rata-rata >Rp. 90.000 (26,3%) dan
rata-rata tambahan pendapatan <Rp. 10.000 (24,1%) setiap panen.
Kegiatan urban
farming ini berkembang seiring dengan kegelisahan masyarakat perkotaan akan
kebutuhannya yang kian tak terbendung dan lahan-lahan yang ada kian menyempit.
Berbagai masalah timbul akibat pengelolaan pengembangan wilayah perkotaan
yangkurang baik, seperti: kemacetan lalu lintas, kurangnya infrastruktur yang
memadai, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang minim, pemukiman kumuh,
hingga alih fungsi lahan.
Dengan urban farming, masyarakat perkotaan
dapat memanfaatkan lahan-lahan di lingkungan rumahnya yang tidak produktif
(missal: lahan-lahan kosong; lahan-lahan sisa bangunan) menjadi lahan perkebunan
produktif. Urban farming dapat
menjadi kegaiatan alternatif masyarakat perkotaan untuk meningkatkan kualitas
dan kuantitas ruang terbuka di tengah hedonisme perkotaan.
Penerapan urban farming dalam skala kecil tidaklah
sulit. Hambatan mengenai lahan yang terbatas sebenarnya dapat diakali dengan
teknik budidaya menggunakan polibag ataupun menerapkan penanaman secara
vertical yang memang menghabiskan lahan yang tidak banyak. Barang-barangbekas
yang tidak terpakai seperti misalnya boto minuman; kaleng-kaleng susu, dan
lain-lain juga dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menanam tanaman pangan
kita sendiri. Kesulitan mendapatkan pupuk bagi tanaman, juga bukan alasan bagi
kita untuk mengurungkan nniat menerapkan urban
farming ini. Memanfaatkan sampah-sampah rumah tangga (sampah di halaman;
limbah dapur/ sisa makanan) dapat dijadikan pupuk bagi tanaman dengan proses
pengomposan yang sederhana.
Biasanya,
permasalahan yang timbul pada masyarakat perkotaan adaah karena kesibukan yang
tinggi sehingga tidak sempat merawat tanaman yang kita tanam sendiri di rumah.
Namun, karena kita menanamnya dalam skala rumahan tentu perawatan yang
diperlukan tidaklah banyak menyita waktu. Pengaplikasian alat-alat penyiraman
otomatis juga dapat membantu pekerjaan kita dalam perawatan tanaman budidaya di
rumah.
Sayuran
yang kita panen langsung dari kebun kita sendiri juga rasanya jauh lebih lezat
dibandingkan sayuran yang ada di pasaran. Karena, sayur yang kita konsumsi
masih fresh dan juga terbebas dari
zat-zat anorganik dan bahan pengawet. Tentu saja, kegiatan berkebun di rumah
sendiri dapat memberikan perasaan rileksasi setelah seharian berada
ditengah-tengah kesibukan bekerja dan hiruk-pikuk perkotaan. Hal tersebut juga
dapat menambah ruang hijau pada rumah kita yang dapat meningkatkan kualitas
lingkungan tempat kita tinggal.
Selain itu, pada
tembok-tembok di gang perumahan, kita juga dapat manfaatkan sebagai lahan untuk
berkebun dengan menerapkan vertical
garden yang dapat ditanami dengan tanaman pangan maupun tanaman hias.
Selain dapat dimanfaatkan hasilnya, dengan adanya tanaman juga dapat
melembutkan aksen keras pada tembok. Penerapan urban farming juga dapat memberikan kesan alami pada lingkungan
perumahan kita. Tidak sulit bukan mengimplementasikannya? Selamat mencoba :)
0 komentar: