Rabu, 16 Juli 2014

Diposting oleh Unknown



Urban Farming; Pangan Mandiri di Tengah Kota

Oleh:
Dewa Ayu Bulan Indrayuni
 
Penduduk kota tidak selamanya dapat bergantung pada pedesaan dalam pemenuhan kebutuhan pangannya. Semakin meluasnya wilayah perkotaan semakin mempersempit wilayah pedesaan dan meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, belum lagi persoalan kepemilikan lahan pertanian. Dimana petani rata-rata merupakan petani penggarap. Petani Indonesia rata-rata hanya menggarap sawah seluas 0,3 hektar, jauh dari ideal yaitu sekitar dua hektar (www.itb.ac.id). Pasokan pangan oleh domestik yang belum mampu memenuhi permintaan pasar, mengakibatkan Indonesia terus-menerus melakukan kegiatan impor dan tidak jarang menimbulkan kelangkaan pangan.
Pada umumnya, kegiatan pertanian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ataupun meningkatkan pendapatan melalui produksi bahan pangan yang dapat dikonsumsi, maupun sebagai tujuan rekreasi maupun relaksasi. Namun seiring dengan terdegradasinya lahan di perkotaan akibat relokasi sumber daya lahan untuk mendukungi populasi perkotaan yang kian meningkat, mendorong masyarakat untuk mengembangkan pertanian alternatif di perkotaan dalam bentuk mulai dari pertanian rumahan dalam skala kecil, hingga pertanian modern dengan teknologi yang mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi permintaan masyarakat perkotaan akan pangan.
Menurut FAO, urban farming merupakan sebuah industri yang memproduksi, memproses, dan memasarkan produk dan bahan bakar nabati, terutama dalam menanggapi permintaan harian konsumen di dalam perkotaan, yang menerapkan metode produksi intensif, memanfaatkan dan mendaur ulang sumber daya dan limbah perkotaan untuk menghasilkan beragam tanaman dan hewan ternak.
 

Urban farming adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan yang melibatkan ketrampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan makanan. Hal utama yang menyebabkan munculnya aktivitas ini adalah upaya memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, menambah penghasilan masyarakat sekitar juga sebagai sarana rekreasi dan hobi (Enciety, 2011).
Seperti yang dikatakan  Petrus Natalivan, dalam risetnya yang berjudul 'Pengembangan Konsep Food Oriented Development Sebagai Alternatif Solusi Ketahanan Pangan' menyebutkan bahwa kecilnya indeks ketahanan pangan dilihat dari indikasi berkurangnya lahan pertanian. Penduduk perkotaan yang cenderung meningkat setiap tahunnya diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk di perkotaan  maupun urbanisasi yang sulit dikendalikan.
Definisi Urban Farming sendiri menurut Balkey M dalam www.berkebun-yuuk.blogspot.com (2011) adalah Rantai industri yang memproduksi, memproses dan menjual makanan dan energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen kota. Semua kegiatan dilakukan dengan metoda using dan re-using sumber alam dan limbah perkotaan.
Selain itu, urban farming ini pun melahirkan berbagai gerakan lokal seperti "foodies", "locavores", "organic growers" dan sebagainya yang berfungsi sebagai sarana berbagi informasi dan fasilitas jual beli produk dari urban farming, sehingga mendatangkan penghasilan, mengurangi risiko pestisida dan bahan kimia berlebih dalam konsumsi masyarakat, hingga meningkatkan ketahanan pangan. Karena urban farming dapat memperpendek jarak antara produsen dan konsumen sehingga bahan pengawet dan proses tambahan tidak dibutuhkan. Hal ini membuat konsumen mendapatkan jaminan bahan pangan yang didapatkan begitu segar.


Penelitian yang dilakukan oleh Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kota Surabaya (2010) berjudul Evaluasi Pelaksanaan Urban Farming dapat dibuat kesimpulan yaitu secara umum pelaksanaan urban farming bermanfaat bagi masyarakat yang mencapai 71,4% masyarakat yang merasakan manfaat urban farming. Tingkat keberhasilan juga ditandai dengan keberhasilan panen yang mencapai 64,7% dengan pemanfaatan 38,3% dikonsumsi sendiri, 2,3% dijual, serta kombinasi dijual dan dikonsumsi sendiri mencapai 38,3% dengan rata-rata waktu perawatan 3-4 bulan. Meski urban farming tidak ditujukan untuk produksi masal namun dari program tersebut telah menghasilkan/memberi tambahan pendapatan rata-rata >Rp. 90.000 (26,3%) dan rata-rata tambahan pendapatan <Rp. 10.000 (24,1%) setiap panen.
Kegiatan urban farming ini berkembang seiring dengan kegelisahan masyarakat perkotaan akan kebutuhannya yang kian tak terbendung dan lahan-lahan yang ada kian menyempit. Berbagai masalah timbul akibat pengelolaan pengembangan wilayah perkotaan yangkurang baik, seperti: kemacetan lalu lintas, kurangnya infrastruktur yang memadai, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang minim, pemukiman kumuh, hingga alih fungsi lahan.

Dengan urban farming, masyarakat perkotaan dapat memanfaatkan lahan-lahan di lingkungan rumahnya yang tidak produktif (missal: lahan-lahan kosong; lahan-lahan sisa bangunan) menjadi lahan perkebunan produktif. Urban farming dapat menjadi kegaiatan alternatif masyarakat perkotaan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang terbuka di tengah hedonisme perkotaan.
Penerapan urban farming dalam skala kecil tidaklah sulit. Hambatan mengenai lahan yang terbatas sebenarnya dapat diakali dengan teknik budidaya menggunakan polibag ataupun menerapkan penanaman secara vertical yang memang menghabiskan lahan yang tidak banyak. Barang-barangbekas yang tidak terpakai seperti misalnya boto minuman; kaleng-kaleng susu, dan lain-lain juga dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menanam tanaman pangan kita sendiri. Kesulitan mendapatkan pupuk bagi tanaman, juga bukan alasan bagi kita untuk mengurungkan nniat menerapkan urban farming ini. Memanfaatkan sampah-sampah rumah tangga (sampah di halaman; limbah dapur/ sisa makanan) dapat dijadikan pupuk bagi tanaman dengan proses pengomposan yang sederhana. 


Biasanya, permasalahan yang timbul pada masyarakat perkotaan adaah karena kesibukan yang tinggi sehingga tidak sempat merawat tanaman yang kita tanam sendiri di rumah. Namun, karena kita menanamnya dalam skala rumahan tentu perawatan yang diperlukan tidaklah banyak menyita waktu. Pengaplikasian alat-alat penyiraman otomatis juga dapat membantu pekerjaan kita dalam perawatan tanaman budidaya di rumah.


 Sayuran yang kita panen langsung dari kebun kita sendiri juga rasanya jauh lebih lezat dibandingkan sayuran yang ada di pasaran. Karena, sayur yang kita konsumsi masih fresh dan juga terbebas dari zat-zat anorganik dan bahan pengawet. Tentu saja, kegiatan berkebun di rumah sendiri dapat memberikan perasaan rileksasi setelah seharian berada ditengah-tengah kesibukan bekerja dan hiruk-pikuk perkotaan. Hal tersebut juga dapat menambah ruang hijau pada rumah kita yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan tempat kita tinggal.
Selain itu, pada tembok-tembok di gang perumahan, kita juga dapat manfaatkan sebagai lahan untuk berkebun dengan menerapkan vertical garden yang dapat ditanami dengan tanaman pangan maupun tanaman hias. Selain dapat dimanfaatkan hasilnya, dengan adanya tanaman juga dapat melembutkan aksen keras pada tembok. Penerapan urban farming juga dapat memberikan kesan alami pada lingkungan perumahan kita. Tidak sulit bukan mengimplementasikannya? Selamat mencoba :)
 

0 komentar: